MERAWAT KEMAJEMUKAN DALAM NKRI

KAIROSPOS.COM, Jakarta- Berikut ini Kairospos menyampaikan bahan makalah yang disampaikan oleh Andreas A. Yewangoe Dalam Diskusi Tentang Kebangsaan di UKI, 5 April 2017. Mantan Ketua Umum PGI (2004-2014), Ketua Majelis Pertimbangan PGI (2014-2019), Senor Fellow Institut Leimena. Artikel ini bisa untuk referensi membuat tulisan tentang Keberagaman bagi rekan rekan Jurnalis atau bahan skripsi untuk mahasiswa/i dan pengetahuan yang mendidik bagi pembaca setia Kairospos.


I.                Tentang Kemajemukan
Tentang kemajemukan, sebagaimana dikatakan berkali-kali pada berbagai kesempatan adalah sesuatu yang terterima (given) bagi negeri kita. Apabila kita berbicara tentang “persatuan” dan “kesatuan”, maka “kemajemukan” harus diakui dan diterima. Itulah yang ada dalam benak para pendiri bangsa ini. Mereka juga sangat visioner sehingga menciptakan semboyan (yang diambil dari Mpu Tantular): “Bhinneka Tunggal Ika”, Berbeda-beda tetapi satu.
Indonesia sebagai satu bangsa adalah novum di atas panggung sejarah dunia. “Sumpah Pemuda” 1928 menegaskan itu. “Proklamasi Kemerdekaan” 1945 makin menggarisbawahi bahwa yang memproklamasikan kemerdekaan adalah BANGSA Indonesia. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 diucapkan penuh nuansa kebangsaan. Itulah sebabnya Bung Karno mendahulukan Kebangsaan (Peri Kebangsaan) di dalam pidatonya itu. Bung Karno bertanya: “Apakah bangsa?” Dengan mengutip beberapa ahli, Bung Karno menjawab, bangsa adalah mereka yang bertekad untuk bersatu. Bangsa adalah mereka yang mempunyai nasib yang sama. Nasib yang sama itu adalah penderitaan yang dialami bersama karena kolonialisme dan imperialisme bangsa-bangsa asing (Belanda, Inggris, Jepang). Maka ketika kita memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 itu, kita bukan hanya sekadar memproklamirkan kemerdekaan kita, melainkan juga mendeklarasikan bahwa kita adalah SATU BANGSA, dan bahwa bangsa itu sekarang sudah ada di atas pentas sejarah dunia: Indonesia. Bangsa ini setara dengan bangsa-bangsa beradab lainnya di dunia ini.

II.                Tidak Selalu Bertindah-tepat
Tetapi “memproklamasikan” tidak selalu bertindih-tepat dengan “kenyataan”. Das Sollen tidak identik dengan Das Sein. Hal satu bangsanya kita tidak sekali jadi. Instan. Ada pergumulan. Ada pasang-surut, ada jatuh-bangunnya.
Sebagaimana sejarah memperlihatkan di dalam Badan Penyelidik Upaya Kemerdekaan Indonesia, setidak-tidaknya ada dua “aliran” besar yang mempunyai ide tentang Indonesia yang terbentuk nanti. Untuk mudahnya, sebut saja “Aliran Islam” dan “Aliran Kebangsaan”. Aliran Islam menghendaki negara Indonesia sebagai sebuah negara Islam atas dasar Al Qur’an dan Hadits. Pada pihak lain, golongan kebangsaan menghendaki terbentuknya “Negara Kebangsaan”, di mana tidak ada satu agama pun dijadikan dasar bernegara. Bung Karno mengusulkan “Pancasila” dalam pidato 1 Juni 1945 tersebut. “Panitia Sembilan” memodifikasi pidato 1 Juni 1945 tersebut yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Djakarta”. Dalam Piagam itu tercantum kata-kata, “...Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya.” (22 Juni 1945).  Rumusan itu kemudian diubah lagi pada 18 Agustus 1945 setelah adanya protes dari para tokoh Indonesia Timur. Rumusan itu ditengarai bersifat diskriminatip terhadap non-muslim. Pada pendiri bangsa, demi kesatuan dan persatuan dan dengan visi yang jelas kemudian mengubah rumusan itu menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana kita temui sekarang didalam Pembukaan UUD 1945. Selanjutnya semua rumusan yang terkesan diskriminatip dihapuskan dari draft UUD 1945, misalnya “Presiden Republik Indonesia harus beragama Islam”.
Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan demikian menegaskan, negara  yang diproklamasikan itu adalah Negara Kebangsaan atas dasar Pancasila. Negara itu adalah “Negara Kesatuan Republik Indonesia” (NKRI).
Tetapi fakta di lapangan lain sekali. Van Mook, Penguasa Kolonial Belanda tetap mendorong dibentuknya negara-negara bahagian, sehingga dibayangkan Indonesia akan berbentuk negara federasi. Ada Negara Pasundan, Negara Madura, Negara Indonesia Timur (NIT), dan seterusnya. Belanda tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal tidak diakuinya proklamasi itu berpuncak pada agresi militer sebanyak 2 kali ke ibukota RI waktu itu, Yogyakarta. Belanda menyebutnya “Aksi Polisi” (Politieonele Actie) sebab beranggapan bahwa mereka masih berhadapan dengan persoalan di dalam negerinya sendiri, sedangkan kita menyebutnya “Agresi Militer” (Militairre Agressie). Yang diserang adalah sebuah negara berdaulat.
Atas dorongan dan tekanan internasional (PBB) dan didukung pula oleh aksi-aksi militer/perang gerilya di dalam negeri, pada akhirnya diselenggarakan “Konferensi Meja Bundar” (KMB) yang diikuti oleh: Republik Indonesia, BFO (Bijeenkomst Federale Overleg/Badan Musyawarah Federal). Konferensi yang tidak mudah itu berakhir dengan “Penyerahan Kedaulatan”, (Souvereiniteit Overdraag, versi Belanda), sedangkan kita memahaminya sebagai “Pengakuan Kedaulatan” (Souvereiniteit Erkenning) pada 27 Desember 1949. Jadi di mata Belanda kita baru merdeka pada tahun 1949.
Berdasarkan persetujuan itu, Indonesia menjadi negara federal (Republik Indonesia Serikat/RIS). Lalu dibentuk pula “Uni Indonesia-Belanda” di mana Ratu Belanda menjadi Ketua sedangkan Presiden RIS menjadi Wakil Ketua. Selanjutnya Irian Barat tidak termasuk pada kesepakatan ini, dan masih akan dibicarakan sekurang-kurangnya setahun sesudah penandatanganan naskah tersebut.
Tentu saja kesepakatan itu tidak cocok dengan jiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Itulah sebabnya, Bung Karno mendeklarasikan pada 17 Agustus 1950 bahwa Indonesia adalah sebuah Negara Kesatuan, dan dengan demikian tidak terikat lagi pada “Uni Indonesia-Belanda”. Dengan kata-kata lain, rumusan tentang Negara Federal di dalam Persetujuan itu diakhiri (secara sepihak). Tindakan Bung Karno ini menyisakan banyak hal (ketidakpuasan-ketidakpuasan) antara lain diproklamasikannya “Republik Maluku Selatan” oleh Chr. Soumokil (mantan Menteri Kehakiman NIT). Ini lalu meningkat menjadi konflik bersenjata, setelah missi Leimena yang diutus ke Ambon gagal mencapai persetujuan.
Pada pihak yang lain, tidak boleh dilupakan juga “Pemberontakan PKI” tahun 1948 di Madiun yang telah mengorbankan sekian banyak anak bangsa. Antara lain Amir Syarifudin, mantan Perdana Menteri menjadi korban dari konflik ini. Sampai sekarang masih menjadi misteri sejarah apakah beliau yang adalah seorang Kristen saleh benar-benar terpikat dengan komunisme, atau hanyalah sebagai pelampiasan ketidakpuasan terhadap jalannya pemerintahan waktu itu.
Mereka yang tidak setuju dengan “koreksi” terhadap Piagam Djakarta memproklamasikan “Negara Islam Indonesia/Darul Islam” di Jawa Barat di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Proklamasi itu lalu didukung oleh Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dengan DI/TII nya. Di Aceh terjadi pemberontakan Daud Beureuh.
Sementara itu terdapat juga berbagai gejolak tentara ex-KNIL. Di Jawa Barat ada APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dipimpin oleh Westerling. Konon, Westerling pulalah yang melakukan pembantaian terhadap 40 ribu orang di Sulawesi Selatan. Lalu ada juga pemberontakan Andi Azis. Dan seterusnya. Semua gejolak ini terpaksa diselesaikan dengan kekerasan bersenjata, di mana negara mempergunakan wewenangnya menekan anasir yang membahayakan kelangsungan hidup negara.
Gejolak-gejolak yang berlangsung pada tahun-tahun 1950-an ini mengindikasikan bahwa Indonesia memang sedang berusaha untuk mengokohkan identitasnya sebagai Indonesia. Adakah Indonesia akan bertahan sebagai Indonesia, sebuah bangsa yang berbhinekka tunggal ika dan bernegara kebangsaan? Ini pertanyaan “abadi” yang setiap kali mesti diperbaharui.
Pada tahun-tahun 1960-an kita pun menghadapi gejolak yang digerakkan oleh G30 S, dan paskanya. Gerakan ini telah mengorbankan anak-anak bangsa (Pahlawan Revolusi), tetapi sekaligus juga terjadi korban-korban massal yang sampai sekarang masih didiskusikan apa persisnya yang terjadi di belakang peristiwa yang mengerikan ini.
Saya kira kita tetap akan berada dalam dinamika ini. Identitas kemajemukan kita yang mestinya terterima (given) akan berada dalam keterancaman dari upaya-upaya untuk menyeragamkan segala sesuatu. Akhir-akhir ini kita juga mengalami berbagai aktivitas organisasi-organisasi trans-nasional. Ada upaya untuk mendirikan Khalifah seturut model abad-abad pertengahan, di mana batas-batas geografi negara bangsa akan dihilangkan. Kalau ini sungguh-sungguh terjadi, maka negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 itu berada dalam ancaman untuk bubar. Maka harus dicegah sedini mungkin agar kita tidak terjebak dalam konflik-konflik berkepanjangan tak ada ujung yang tidak perlu.

III.             DKI Jakarta Sebagai Miniatur Indonesia
DKI Jakarta adalah miniatur Indonesia. Di sini kemajemukan sungguh-sungguh nyata. Ada kemajemukan etnis, ras, agama, bahkan kepentingan. Di sini juga terdapat kesenjangan-kesenjanagan: sosial, ekonomi, dan seterusnya. Tidak perlu heran, sebab Jakarta adalah Ibu Kota Negara, di mana kepentingan-kepentingan bertemu. Tentu saja kepentingan-kepentingan yang tidak selalu akur satu sama lain itu harus dikelola sebaik-baiknya guna menghindarkan benturan-benturan yang tidak perlu. Selama ini DKI  Jakarta memang berhasil dikelola oleh para pemimpinnya sehingga hampir tidak ada bentrokan-bentrokan horizotal berarti, kecuali tawuran musiman yang terjadi di sana sini dalam skala kecil. Kita memang masih tetap menyesalkan “Peristiwa 1998” yang sampai sekarang belum terang benar siapa aktor intelektual di belakang semua ini.
Dalam Pilkada ini tensi politik memang terkesan menaik. Untuk Pilkada putaran kedua yang bakal berlangsung pada 19 April 2017 nanti tersisa dua pasangan calon yaitu: Ahok/Djarot dan Anies/Sandi. Dalam iklim demokrasi, berbagai upaya memenangkan pilkada seperti misalnya melalui kampanye-kampanye dilakukan. Bahaya yang mengancam kemajemukan adalah dipergunakannya secara royal dan murahan isu SARA guna mematahkan lawan. Misalnya saja ada spanduk yang berisikan penolakan untuk dizalatkan bagi yang meninggal apabila memilih paslon tertentu. Atau makin meningkatnya pemakaian istilah “kafir” terhadap mereka yang dianggap berbeda. Ada kesan seolah-olah program paslon yang satu tidak dijawab dengan mengemukakan program alternatip, tetapi dengan mengemukakan SARA. Tentu saja ini tidak fair dan memperlihatkan ketidakdewasaan di dalam berdemokrasi. Beberapa waktu lalu, Satpol PP telah menurunkan sekian banyak spanduk yang bernuansa SARA. Suatu tindakan yang baik. Tetapi juga berbagai ucapan dan ujaran pun yang terkesan menimbulkan persoala SARA harus dicegah. Jangan hanya karena Pilkada, masyarakat Jakarta terpecah-belah. Akibatnya bisa fatal, tidak hanya bagi Jakarta tetapi untuk seluruh Indonesia.
Kita mendapat kesan bahwa minat untuk mengikuti proses Pilkada di Jakarta luar-biasa berasal dari daerah-daerah. Ini bukti bahwa Ibu Kota memang merupakan barometer bagi berbagai akta politik yang dilakukan di negeri ini.
Saya tentu saja tidak bermaksud menyebut siapa yang layak menjadi Gubernur DKI nanti. Ini sangat tergantung pada tingkat kedewasaan para pemilih Jakarta sendiri. Mampukah para pemilih Jakarta membebaskan diri dari jebakan-jebakan primordialisme (suku, ras, etnis, agama) seraya hanya mengandalkan pertimbangan-pertimbangan rasional dan masuk akal? Tentu itulah harapan kita sehingga Jakarta tidak akan menyesal apabila memilih orang yang salah. Menurut saya, Jakarta membutuhkan pemimpin yang selalu mengandalkan transparansi, yang anti-korupsi, tegas, berwibawa dan visioner. Seorang pemimpin yang cenderung menerapkan prinsip “business as usual” tidak terlalu diharapkan di sini. Sebaliknya, seorang pemimpin, kalau perlu bertindak “out of the box”.
IV.              Lalu Apa?
Sudah pasti kita menginginkan masyarakat majemuk kita diperlihara, dirawat dan dijaga dengan baik. Dialektika (interplay) antara “kemajemukan” (bhinneka) dan “kesatuan” (tunggal) harus nampak dalam setiap kinerja, aturam-aturan dan perundang-undangan.
Sebagai demikian, civil society (masyarakat berkeadaban) harus terus-menerus diperkuat dan diperkembangkan. Tanpa civil society yang kuat, rasanya sulit kita melangkah maju. Hal memperkuat civil society itu harus dimulai dari lembaga-lembaga pendidikan pada segla aras (PAUD, TK, SD, SMU dan Universitas). Bahkan harus dimulai dari dalam rumah tangga, yaitu menanamkan kepada sang anak bahwa tetangga yang berbeda itu bukanlah musuh. Secara positif ditanamkan pengertian bahwa hidup dalam dunia yang di dalamnya masyarakatnya majemuk tidak perlu ditakuti, sebaliknya kita bersyukur sebab dengan demikian kita diperkaya dengan berbagai cara hidup dan cara tindak.
Tentang NKRI Ini juga harus ditafsirkan secara dinamis dan dihidupi secara manusiawi. Tidak statis dan kaku, apalagi cenderung mendehumanisasi manusia. Mama Yosefa dari Tanah Papua menegaskan bahwa bagi mereka NKRI bukan “harga mati”. Mereka lebih mementingkan “harga hidup”, yaitu nyawa manusia yang telah banyak hilang karena NKRI ini. Barangkali memang perlu diperhatikan jeritan hati Mama Yosefa yang “mewakili” masyarakat Papua pada umumnya. Kendati NKRI adalah cita-cita Proklamasi kita, tetapi ia tidak mempunyai tujuan di dalam dirinya. NKRI bukan berhala. NKRI adalah wadah yang di dalamnya keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang diwujudkan. Di dalam NKRI cita-cita kemerdekaan sebagaimana dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945 diwujudnyatakan. Dengan sedikit memvariasikan sabda Yesus: “NKRI diciptakan untuk manusia, bukan manusia untukNKRI.”

______________
*) Disampaikan Andreas A. Yewangoe Dalam Diskusi Tentang Kebangsaan di UKI, 5 April 2017.
**) Mantan Ketua Umum PGI (2004-2014), Ketua Majelis Pertimbangan PGI (2014-2019), Senior Fellow Institut Leimena.


                                                                                                                    Jakarta, 5 April 2017

Related Posts:

0 Response to " MERAWAT KEMAJEMUKAN DALAM NKRI"

Post a Comment