FKUB DKI Berharap Terwujudnya Kerukunan Umat Beragama 2019



KAIROSPOS.COM, Jakarta - Forum Kerukunan Umat Beragama ( FKUB) DKI mengklarifikasi bahwa DKI Jakarta memiliki kerukunan keagamaan yang tinggi ini dibuktikan dengan survei Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Kementerian Agama, tahun 2018 memperoleh skor 70,2 dari skor 0-100, dan menduduki peringkat 20 dari kota-kota di Indonesia.

Dalam refleksi akhir tahun ini sekaligus menanggapi adanya hasil sebuah penelitian (Setara Institute -red) bahwa Jakarta masuk kategori kota intolerans,
Hal itu diungkapkan H. Ahmad Syafi’i Mufid selaku Ketua Forum FKUB Provinsi DKI Jakarta di kantor FKUB Lantai 4 Gedung Graha Mental Spritual, Jalan Awaluddin 2 Tanah Abang Jakarta pada Kamis (27/12). Dalam refleksi ini hadir anggota FKUB dari enam agama juga Kanwil Kementerian Agama DKI dan awak media.

“Saya kira tingginya peringkat DKI Jakarta terkait kerukunan umat beragama (tolerans) semua berkat kerja keras FKUB, Pembina Keagamaan, tokoh-tokoh umat dan penggiat lainnya,” jelas Ahmad Syafi’i Mufid yang lebih percaya dan berpatokan hasil Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Kementerian Agama.
Ditambahkan Ahmad bahwa FKUB sudah memiliki kampung kerukunan di Jakarta Barat dan Jakarta Timur dan di Jakarta Utara ada Kota Kerukunan. FKUB juga sudah turun ke groos root dengan turun ke RPRTA jadi sama sekali tidak elitis.

“Menyambut pemilu 2019 maka ini bisa kritis jika tidak ada kerukunan umat beragama. Sangat disayangkan ketika ada konflik hanya ada tokoh-tokoh agama, kementerian agama, FKUB atau Kengbangpol yang memberikan pernyatan seharusnya tugas seluruh rakyat Indonesia,” imbuhnya.
Sesuai dengan pesan Gubernur DKI Anis Baswedan kutip Ahmad, bahwa kita (warga DKI) harus tetap dalam kesederhanaan. Jaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan demikian bisa membawa warga DKI ke depan lebih bahagia.
Sementara Kanwil Kementerian Agama DKI Dr H Abdulrahman yang turut hadir, menyatakan akan terus menjalin kerjasama dengan FKUB dalam meningkatkan kerukunan umat beragama. Moderasi beragama senantiasa berjaga ingin mendorong seluruh umat beragama dilandasi kerukunan.
Drs H Taufiq Rahman mewakili MUI yang juga sekretaris FKUB dalam refleksi akhir tahan ini menyatakan pihaknya bersama FKUB akan terus menjaga kerukunan umat beragama. Sesuai dengan kearifan yang dicontohkan Nabi di Madina.

“Walau umat Islam mayoritas saya kira kementerian agama tetap menghormati semua hari libur agama di Indonesia. Karena itu, FKUB tetap mempertahankan 4 pilar Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika,” tuturnya.
Sementara Pdt Dr Manuel Raintung Wakil Sekretaris FKUB dari Kristen, mengungkapkan bahwa tahun 2018 adalah tahun penuh harapan. Kalau Jakarta disebut berada di peringkat bawah oleh hasil riset sebuah lembaga tertentu, tapi bukan berarti ukuran sahih. Mungkin karena di Jakarta sering unjuk rasa sehingga disebut demikian tetapi tidak boleh jadi patokan karena kerukunan agama di DKI berlangsung baik.


“Toleransi adalah bagaimana kita hidup berdamai, satu sama lain saling menghargai. Kami tidak lihat menolak keagamaan di Jakarta, kalau ada penolakan hanya sifat internal,” ujar Ketua PGIW DKI Jakarta ini. Menurutnya tahun 2018 dari 11 izin tempat ibadah ada 6 tempat ibadah umat Kristen, itu menunjukkan tidak ada penolakan.

Raintung menegaskan bahwa dalam pertemuan musyawarah pemuka-pemuka agama awal tahun ini, bahwa pemuka-pemuka agama sepakat dengan NKRI, mencintai tanah air, mematuhi pemerintah yang sah, juga menghargai keyakinan umat beragama.


Romo Suyadi anggota FKUB menyatakan jemaat Keuskupan Gereja Katolik adalah bagian dari umat di DKI Jakarta, selama ini sudah melakukan dialog-dialog di acara nasional, antara lain mengajak umat sekitar gereja bersama. Sekarang aktif mengajak mendirikan kampung kerukunan yang disebut juga kampung Bhinneka dan Taman Bhinneka. (Thony E).


Related Posts:

PERADI Berbagi Sukacita Natal di Lapas Cipinang

Kairospos.com, Sukacita merupakan hak asasi setiap orang. Karena itulah sukacita harus selalu dibagikan kepada setiap manusia, tanpa terkecuali. Demikian yang dilakukan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Rumah Bersama Advokat (RBA), saat membagikan sukacita natal bersama warga binaan di Gereja Galilea, Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Cipinang, Jakarta Timur, Jumat siang (21/12/2018).

Dibalut suasana sederhana namun penuh makna, perayaan natal PERADI RBA kali ini bertema, "Hidup di Dalam Tuhan Meluputkan Kita Dari Kesalahan dan Nafsu Dunia". Tema ini diangkat dari Matius 6, ayat yang ke-33.

Tak kurang dari 200-an advokat dan warga binaan mengikuti ibadah yang dipimpin oleh Pdt. DR. Denny. W. M. Tumiwa SE., MA. Dalam renungannya, Pdt. Denny mengutip beberapa ayat Alkitab yang diambil dari Yesaya 54:17 dan Roma 12:2. Renungan yang disampaikan Pendeta Denny berkisah tentang bagaimana ajaran firman berkorelasi kuat terhadap perubahan sikap manusia. Denny berkata bahwa Tuhan menghendaki setiap manusia untuk melayani-Nya, serta meninggalkan cara-cara hidup yang tidak berkenan di mata-Nya.

"Kehidupan tak pernah lepas dari proses perubahan. Dari pohon kecil berkembang dan berbuah. Jangan sampai kita terjatuh di tempat yang sama untuk yang kedua kali. Tuhan menginginkan kita berubah dan melayani Dia," ujarnya yang diamini oleh warga binaan.

Saat sesi pembacaan liturgi, segenap pengurus PERADI RBA secara bergantian membaca ayat Alkitab dari Roma 12:9-18. Pengurus yang ikut membacakan antara lain Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) PERADI RBA DR. Luhut M. Pangaribuan SH., LLM dan Sekretaris Jenderal  Sugeng Teguh Santoso SH. Sementara mewakili Dewan Pimpinan Cabang PERADI RBA adalah Berry Sidabutar SH., MH, T. M Simangunsong SH., MH, Gerits de Fretes SH., MH, dan Sabas Sinaga SH., MH.

Luhut Pangaribuan saat memberi sambutan menyinggung tentang panggilan advokat dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Di sisi lain advokat sebagai officium nobile juga memiliki peran lain, yakni sebagai penggerak misioner dalam menghadirkan perdamaian di dunia.

"Dalam menjalankan tugas dan profesi kita sebagai penegak hukum, adalah kewajiban kita untuk bersama elemen lain membangun kedamaian dan kesejahteraan segenap bangsa Indonesia. Dalam kemajemukan, membangun kebersamaan adalah dengan saling menghormati, saling menghargai perbedaan dan saling berbagi kasih dengan ikhlas. Jika itu dilakukan, niscaya kita semua sudah menjadi misioner kedamaian di dunia ini," papar Luhut.

Pada kesempatan itu Ketua Panitia Natal 2018 PERADI RBA, B. Halomoan Sianturi SH., MH, mengatakan natal kali ini memang terasa istimewa karena diadakan di lingkungan Rutan. Menurutnya, pilihan tempat penyelenggaraan ini tak lain bertujuan ingin menghadirkan salam sukacita bagi semua orang tanpa terkecuali, termasuk Warga Binaan Rutan.

"Mari kita panjatkan puni syukur kepada Tuhan karena PERADI RBA dapat bersama-sama dengan jemaat Gereja Galilea Rutan Cipinang. Salam Sukacita kepada seluruh rekan-rekan advokat PERADI RBA, dan tentunya kepada Jemaat Galilea Rutan Cipinang," ujar Halomoan.

Momen berbagi sukacita natal PERADI RBA di Rutan Cipinang turut diisi persembahan pujian dari Ir. Esterina Ruru SH dan Lince Sitohang SH. Kedua advokat senior ini membawakan pujian berjudul "One Day at The Time" dengan iringan irama country, yang disambut meriah oleh warga binaan.

Perayaan natal PERADI RBA kemudian ditutup dengan kesaksian hidup dari Komika ternama Indonesia, Ronny Immanuel alias Mongol. Dengan gaya komedi yang khas, Mongol ikut "menyuntikan" pesan-pesan moral dari pengalaman hidupnya di masa lalu. Pria yang pernah menjalani kehidupan di balik jeruji besi ini meminta agar setiap warga binaan yang hadir mampu berdamai dengan diri sendiri, sebelum mereka kembali menata kehidupan di tengah masyarakat kelak dengan tetap berserah kepada Tuhan.

"Keluarlah dengan damai. Jalanlah dalam keyakinan bahwa kita bisa sukses. Saya bisa seperti ini karena campur tangan Tuhan," ungkap pria yang kini melayani sebagai evangelis itu.

Related Posts:

Labora Sitorus Korban Pelanggaran HAM Peradilan Sesat

Hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Paling tidak itulah yang mengambarkan perkara yang dialami Labora Sitorus, menjadi korban pelanggaran HAM oleh peradilan sesat. Betapa tidak, tahun 2013, Labora dipaksa mengikuti proses peradilan yang kemudian oleh Pengadilan Negeri Sorong menghukumnya dua tahun penjara, dan oleh Pengadilan Tinggi Jayapura menghukum delapan tahun, dan September 2015, dan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, menghukumnyalima belas tahun penjara. Hal yang mengusik nurani kita semua. Kini Labora dengan getir menjalani masa hukumannya di LAPAS Cipinang dengan kondisi mengalami banyak penyakit, menantikan datang keadilan atas dirinya.

Di tengah perjuangan menggapai keadilan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia atas penegakan hukum, kerabatnya dan keluarga dan juga warga Sorong,  pada Senin, (17/12/18) mendatangi kantor Komnas HAM, di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka diterima oleh kepala Sub bagian pemantauan Komnas HAM yaitu; Mailani.

Saat melapor, seorang tokoh dari Sorong membacakan pernyataan dari tokoh-tokoh dari Sorong seperti; keluarga besar Fakdawer, keluarga besar Mansen, keluarga besar Wanma AP, keluarga besar Osok, keluarga besar Marani, keluarga besar Komdono, keluarga besar Imbiri, keluarga besar Mambrasak, keluarga besar Yembisa, dan keluarga besar Mayok membuat pernyataan menyerukan pembebasan bagi Labora Sitorus. “Bagi kami pak Labora Sitorus bukan hanya sahabat, teman, tetapi beliau adalah tokoh masyarakat dalam pembangunan di Sorong.”

Mereka menyerukan keadilan diberikan kepada Labora Sitorus. Mereka melihat peradilan sesat dan pelanggaran HAM yang dialami Labora Sitorus dalam kasus yang disangkakan tersebut. Justru, bagi mereka Labora Sitorus adalah pahlawan di Sorong, bahkan banyak masyarakat Sorong yang dipekerjakan, dibantu biaya sekolahnya. Termasuk membantu pembangunan sarana-prasana yang dibutuhkan masyarakat di Sorong.

Hadir juga dari pihak keluarga, tante Labora Sitorus, menyebut, tak bisa menyembunyikan kesedihan dan kepedihan tatkala bicara tentang apa yang terjadi  pada keluarganya, terutama yang menimpa keponakannya Labora Sitorus. “Dia sosok pemberani, pekerja keras, orang baik, pengayom dan pahlawan. Melihat dia tak berdaya sakit dan dipenjara, membuat kami sebagai keluarga sangat sedih. Kami merindukan akan keceriaan yang dibawanya dulu, dan rindu suasana yang dulu saat dia berada di rumah bersama kami,” terangnya.

Tante Labora Sitorus juga menyebut, hatinya pedih terhadap apa yang dialami keponakannya. “Saya tak melihatnya lagi ceria sejak dihukum peradilan sesat dan pelanggaran HAM yang dialami keponakan saya, khususnya yang disangkakan kepadanya. Menurut kami ini perkara yang dipaksakan. Oleh karenanya pihak keluarga memohon, tolong dibebaskan keponakan saya. Saya hanya mau bertanya sama negara ini, pemerintah ini, hukum apa yang dipakai untuk menahan dan mempidanakan keponakan saya? Saya tak mengerti tentang hukum, akan tetapi negara ini harus menjalankan Undang-Undang. Jangan membuat Undang-Undang itu hanya mainan politik, menjadi peradilan sesat. Jikalau memang seperti ini, mau dibawa ke mana negeri kita ini?,” sebut tante Labora Sitorus, adik dari mamanya. Sembari mengatakan dengan tegas, “Keponakan saya bukan penjahat! Bebaskan keponakan saya. Itulah permintaan kami, sebagai keluarga.”

Sementara itu, Wolter Sitanggang, sahabat dan orang yang telah memberi dirinya untuk memperjuangkan keadilan bagi Labora Sitorus meminta perhatian Komnas HAM. “Sejak tiga tahun lalu, tahun 2015 telah dilakukan telaah berupa Eksaminasi   terhadap Putusan Pengadilan atas diri Labora Sitorus oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI), di mana hasil Eksaminasi Komnas HAM RI ditemukan banyak sekali kejanggalan dalam proses hukum terhadap Labora Sitorus,” ujarnya.

Perlu diketahui, Eksaminasi Proses Hukum yang dibuat Komnas HAM itu, menyimpulkan beberapa hal diantaranya; telah terjadi apa yang disebut dalam hukum pidana sebagai kesalahan fatal dan serius dalam menetapkan subyek hukum yang dapat diminta pertanggung-jawaban pidana. Selain itu, kesalahan penegak hukum mulai dari Polisi sebagai penyidik, Jaksa sebagai penuntut umum, dan kemudian hakim yang memeriksa, mengadili dan membuat Putusan yang mempidana Labora Sitorus.
 “Peradilan sesat dan pelanggaran HAM yang dialami Labora Sitorus dalam kasus yang disangkakan terkait ilegal logging, ilegal BBM & UU pencucian uang, dibuktikan dari hasil eksaminasi yang dilakukan Komnas HAM tahun 2015 lalu. Negara dalam hal ini Lembaga Negara harus bertanggung jawab terkait adanya Error inpersona,” ujar lagi.

Saat diterima di Ruang Pengaduan Komnas HAM selain keluarga dan tim hukum Labora, hadir juga aktivitas HAM, mantan Komisioner Komnas HAM Johnny Nelson Simanjuntak. Saat ditanya wartawan, sebagai advokat dan pegiat HAM, bagaimana pengalaman dan pengetahuannya tentang penegakan hukum seperti ini? Dia mengatakan, persoalan hukum yang dialami Labora Sitorus kentara sekali dipaksakan. “Saya katakan dipaksa, itu didasarkan pada fakta yang tampak pada tindakan menyimpang dan secara sistimatik para penegak hukum atara lain; penyelidik menggunakan laporan polisi untuk terlapor orang lain untuk menjerat Labora Sitorus,” ujarnya.

Dia menambahkan, penyidik tak melakukan pemeriksaan terhadap Labora sehingga tak membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atas diri Labora. Lucunya, ironisnya  yang bertahun-tahun menjabat direktur PT Rotua tak dijadikan menjadi tersangka, sementara pejabat direktur yang baru menjabat tiga hari, malah dijadikan tersangka.

Dia menambahkan, bagaimana pengalaman dan pengetahuannya tentang penegakan hukum dan kondisi HAM di Indonesia. “Di perkara ini, telah terjadi penggaran HAM. Sebagaimana defenisi penggaran HAM menurut UU 31/99 tentang HAM ialah perbuatan sengaja atau lalai yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, mencabut HAM yang dijamin oleh UU tersebut,” jelasnya lagi.
Pasal 17 misalnya, menyebut, hak untuk diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tak memihak. Sementara dalam perkara ini, pelanggaran itu tampak jelas ada pelanggaran prinsip legalitas yang mengharuskan semua proses hukum terhadap tersangka harus dilaksanakan berdasarkan hukum yang berlaku.

“Pelanggaran terhadap prinsip penahanan yang tak boleh sewenang-wenang. Di perkara ini terjadi pelanggaran terhadap azas kepastian hukum yang merupakan pilar utama dalam penegakan HAM. Dan terjadi pelanggaran terhadap azas praduga tak bersalah, dan telah terjadi pelanggaran azas tak boleh menghukum yang tak bersalah,” ujarnya. (HM)

Related Posts:

Wakil Walkot Jaksel Buka Diskusi Lintas Agama


KAIROSPOS.COM, Jakarta - Wakil walikota Jakarta selatan H. Arifin M.AP membuka Diskusi Forum lintas agama dikantor Walikota Jakarta Selatan Rabu(20/12/2018). H. Arifin mengatakan "Berbicara keberagaman dan kemajemukan serta berbedaan buat bangsa kita bukan sesuatu hal barang yang baru itu kita semua karena kita lahir di Indonesia ini sudah berbeda dari etnik,suku ,agama dan bahasa tetapi kalau kita meriviuw kembali founding father kita serta orang tua kita sudah mengikrarkan diri masalah perbedaan itu disatukan dalam satu bingkai Negara Kesatua Ripublik Indonesia(  NKRI ). perbedaan semua itu kita harus hilangkan dan tinggalkan sebab kalau kita masih berbicara perbedaan tak akan maju bangsa ini, maka kemudian apa yang terjadi hanyalah suasa yang dibutuhkan kedewasaan dalam menerima informasi dan juga pengaruh ini bisa disejukan dengan pimpinan lintas agama dengan membimbing umatnya untuk Nasrani yaitu Pendeta ,Romo dan begitu juga agama islam,budha dan hindu.


Ini hanyalah suasan menjelang pesta demokrasi  dan saya rasa hal yang biasa saja tidak ada yang perlu dikwatirkan.suasana dilevel bawah juga biasa aja hubungan antar umat beragama masih terjalin dengan baik sebab saya tidak ada laporan tentang masalah yang berkaitan hal tadi seperti tenggangunya kerukunan umat beragama khususnya di Jakarta Selatan.


Justru saya melihat sejuk sekali hubungan antar umat disini bahkan perayaan natal yang akan dirayakan umat nasrani  dan tahun baru saya pastikan berjalan baik sehingga acara ibadah penuh damai dan suka cita. Kami juga berkordinasi dengan jajaran Kepolisian serta TNI kemudian keterlibatan unsur masyrakat seperti organ masyarakat juga Satpol PP untuk menjaga ketenangan,kedamaian terhadapa perayaan natal dan tahun baru.


Untuk masalah berita hoax yang memberitakan ujaran kebencian saya menyarakan untuk kita teima dan cukup kita saja ,janganlah kita ikut menyebarkan apalagi berita itu tidak benar dari beritanya ataupun sumbernya.kita harus stop dan kita lawan bersama sama,tentu sekali lagi pemahaman serta wawasan harus dapat bimbingan dari pemimpin saat ini seperti  pemimpin umat beragama dan sebagainya.


Marilah kita bersama untuk menjaga Indonesia kita serta membangun tampa harus melihat perbedaan itu.
 

Related Posts:

Terkait Kasus Penggelapan Tanah Medan Kuasa Hukum Proses Pidana




KAIROSPOS.COM, Jakarta – Kasus penggelapan dan pemalsuan dokumen tanah Ny. Netty Boru Samosir yang terletak di Jalan Pungguk No. 27 Sei Kambing B,  Deli Serdang,  Medan Sumatra Utara seluas 2022 Meter persegi dengan terduga pelaku MS dan Pembeli RV,  yang kini ditangani kuasa hukum Jahmada Girsang, SH, MH, CLA dari kantor Low Office JAGIRS dari Jakarta Pusat kini memasuki tahap investigasi di lapangan.  
            “Kita sudah melakukan penelurusan pada penyidik perkara tersebut dengan mengirim 2(dua) orang pengacara dari kantor pusat Jahmada Girsang di  Jakarta ke Poltabes Medan. Penyidik mengatakan bahwa perkara tersebut dengan no : LP/2035/K/VIII/Tabes sudah dicabut oleh pelapor korban penipuan Ny. Netty Br. Samosir. Padahal menurut klien kami bahwa tidak sama sekali pencabutan perkara,” jelas Jahmada Girsang pada konferensi pers  wartawan yang tergabung dalam PEWARNA (Persatuan Wartawan Nasrani) Kamis (20/12/2018) di Kantor Pusat Law Office JAGIRS.  

Dijelaskan pengacara senior ini,  setelah dikonfirmasi ternyata Ibu Netty Boru Samosir tidak pernah mencabut laporan tersebut dan telah membuat surat pernyataan menyanggah laporan pencabutan yang diduga dibuat oleh para Pelaku dengan cara kembali memalsukan tanda tangan Ny. Netty Boru Samosir.

“Berdasarkan penjelasan klien ini, saya sebagai kuasa hukum, sekarang sedang memproses perkara pidananya dulu, untuk memperjelas pihak-pihak yang bersengketa dan pihak yang menggelapkan. Baru nanti kami lanjut ke proses perdatanya di pengadilan,” tutur Penasehat Hukum Pewarna Indonesia ini.

Lebih jauh, sambung Jahmada Girsang, dari hasil invistigasi yang dilakukan bahwa pelaku telah menjual rumah dan tanah,  sehingga lokasi tanah telah berubah bentuk dan memagari tanah tersebut.

“Demi efektifitas dan pendalaman kasus ini, kami (Law Office JAGIRS) sudah mensubsitusikan perkara ini pada pengacara di Medan Sumatara Utara. Kami bukan berarti  tenang-tenang atau diam saja,   tapi terus bergerak menelusuri pelaku yang ditengarai telah memperluas objek tanah. Kami  bahkan sudah membentuk  semacam “buser” untuk melacak pelaku dengan cermat dan hati hati. Kami juga meminta agar Poltabes Medan dan Polda Sumut harus menjalankan tugasnya untuk segera menangkap para pelaku pidana demi menegakkan keadilan,” pungkasnya

Related Posts:

Refleksi Mubes Pers Indonesia : Belajar untuk Berdemokrasi

Kairospos.com - (Staf Pengajar pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Mathlaul Anwar, Banten)

Selasa, 16 Desember 2018,  di Gedung Sasono TMII digelar Mubes Pers Indonesia. Hajat masyarakat pers itu dihadiri 2000 an peserta dari perwakilan media massa maupun organisasi pers di Indonesia. Mubes juga mengemban misi ; membentuk Dewan Pers Independen, menyusul penilaian masyarakat pers (baca ; setidak-tidaknya peserta mubes) terhadap Dewan Pers yang dinilai tak demokratis serta tak merepresentasikan penghormatan terhadap kebebasan pers itu sendiri.

Beberapa tindakan dan kebijakan Dewan Pers, yang saya ketahui antara lain adalah ungkapan “media abal-abal” yang acap digulirkan komisioner Dewan Pers, penerapan standar kompetensi wartawan mengarah kepada kewajiban bagi warga negara yang menjalankan fungsi pers untuk mengikuti uji kompetensi wartawan, serta verifikasi terhadap badan hukum yang bergerak dalam bidang roda usaha (bisnis) pers.  Sikap  Dewan Pers tersebut dinilai melampauai kewenangannya. 
 
Dewan Pers, acap membenturkan tindakannya dengan argumentasi untuk melindungi pers dari para penumpang gelap kemerdekaan pers.  Muncul jargon ; Insan pers harus profesional, yang ukuran profesionalitasnya didasarkan pada lulus tidaknya mereka dalam pelaksanaan uji kompetensi wartawan. Jargon ini merangkul kuat upaya kepolisian menjerat wartawan dengan sarana hukum pidana. Disebabkan jargon itu pula, dimensi tentang masalah hukum kasus-kasus pers bukan lagi terpatri kepada norma yang bertumpu kepada isu kebebasan berpikir, kebebasan untuk berekspresi, mencari dan menyebarkan informasi bertalian dengan unsur-unsur kepentingan umum sebagaimana bagian dari perlindungan HAM.

Tak ayal, Pemahaman sempit itu pada gilirannya berdampak  kontraproduktif terhadap upaya memperjuangkan demokrasi, upaya untuk menghormati HAM bertalian dengan penyaluran hak atas kebebasan untuk berbicara, kebebasan berekspresi yg termanivestasi dlm freedom of the press.  Masalah profesionalitas, karena hakikat dari pelaksanaan fungsi pers merupakan manivestasi yang bersentuhan dengan hak asasi alamiah manusia maka penerapan aturan  administrasi hendaknya jgn sampai menjadi faktor penghambat bagi setiap subjek hukum dlm menyalurkan haknya dimaksud.

Mubes Pers, kiranya menjadi titik anjak proses berdemokrasi bagi kalangan insan pers sekaligus upaya memecah dan mencari solusi persoalan pers yang kini berada di persimpangan jalan. 

Namun disayangkan, lika-liku perjuangan menggapai sasaran negara demokratis masih jauh dari ideal. Bahkan ketika ujian untuk bersikap demokratis itu tiba-tiba menghujam di acara Mubes, sikap tak elok muncul di tengah hajat memperjuangkan demokrasi itu sendiri. Cerminan sikap anti demokrasi itu  muncul tatkala terdengar “kicauan” politik “Ganti Presiden” dari mulut Egy Sudjana.

Kicauan Egy, mungkin juga dianggap tidak pada tempatnya. Namun juga terlalu naif, bila tak dimungkinkan terjadi keterkiliran sikap politik di tengah hamparan ruang yang diisi para punggawa demokrasi itu. Hal yang lumrah dan maklum kiranya di sebuah negara yang menjunjung tinggi demokrasi, sekalipun penolakan tersebut dihadapkan dengan isu posisi netralitas media.

Dalam pada itu, menurut saya, pengembanan tugas menjaga netralitas bukan didasarkan pada kecenderungan sikap politik para penggiat media yang bersangkutan, tetapi didasarkan pada bagaimana menjalankan objektifitas hukum secara nyata. Dengan demikian, perbedaan pandangan politik maupun perbedaan lainnya tetap dapat disikapi secara demokratis, sebagaimana ungkapan Voltaire yang menjadi kerangka filosofi dalam kebebasan berekspresi ; “I detest what you write, but I would give my life to make it possible for you to continue to write”. Kalimat tersebut diparafrasekan lagi menjadi : “I disapprove of what you say, but I will defend to the death your right to say it ”.

Oleh Dr. Ibnu Mazjah, S.H., M.H.

Related Posts:

Jeritan Hati Istri Labora Sitorus Surati Presiden





KAIROSPOS.COM, Jakarta - Ada Tujuh Kejanggalan Atas Perkara Suaminya Hati siapa yang tak pilu jika salah seorang keluarganya dikriminalisasi dan menjadi korban atas ketidakadilan Peradilan Sesat. Maka benarlah slogan yang menyebut bahwa keadilan harus diperjuangkan, dan itulah yang dirasakan Sandritje Panauhe, merasakan perihnya perlakuan Kriminalisasi dan proses peradialan sesat yang dirasakan suaminya Labora Sitorus. Oleh karena itu, dia memberanikan diri mengirimkan surat kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Surat tertanggal 15 Oktober 2018, memohon perlidungan HAM, perlidungan hukum dan keadilan serta pengaduan dugaan pelanggaran proses penahanan (perampasan kebebasan dengan cara melawan hukum. Walau sampai saat ini belum ada jawaban.

Dalam surat itu, Sandritje Panauhe turut juga melampirkan foto copy laporan Eksaminasi Proses Hukum dan Putusan Hukum Labora Sitorus, oleh Komnas HAM RI. Foto copy Surat Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang Jakarta, Tentang administrasi registrasi terkait Surat Perintah Penahanan atau Penahanan, Standar Registrasi dan Klasifikasi Narapidana dan Tahanan, Kemenkumham Penal Nomor: PAS-170.PK.01.01.02 Tahun 2015, halaman 10-11. Dalam isi surat Sandritje Panauhe, menyampaikan kepada Presiden memohon dengan sangat perhatian Presiden atas Peradilan Sesat yang menimpa suaminya.

“Musibah yang memvonis hukuman 15 tahun penjara sampai hari ini tidak tahu pelanggaran hukum apa yang suami saya lakukan, sejak semula suami saya ditahan tanpa Surat Perintah Penahanan dari penyidik Polda Papua, tanpa ada Laporan Polisi (LP), tanpa ada Berita Acara Pemeriksaan (BAP), kesempatan suami saya melakukan Praperadilan saat itupun dihalangi dengan cara membantarkan suami saya ke RS Polri Jayapura dan masih banyak lagi kesalahan fatal dan serius dalam menetapkan suami saya sebagai tersangka yang dilakukan oknum aparatur hukum.” Lucunya, walau demikian perkara ini bisa ada Putusan Pengadilan Negeri. Bahkan, bisa ada Putusan Pengadilan Tinggi dan bisa ada Putusan Mahkamah Agung dengan alasan sudah inkrach. Padahal, sejak awal, Labora ditahan mulai dari Polda Papua sampai sekarang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Jakarta, pihak keluarga tak pernah menerima Surat Penetapan Penahanan. “Bahkan registrasi suami saya selaku warga tahanan pun sampai hari ini di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Kelas I Jakarta terkait Surat Penetapan Penahanan tidak ada,” jelasnya lagi dalam suratnya.

Merujuk pada Prinsip standar Minimum Rules for the Treatment Prinsons (SMR) Resolusi PBB Nomor 663 C (XXIV) tanggal 31 Juli 1957 dan Nomor 2076 (LXII) tanggal 31 Mei 1977, di mana setiap orang yang ditahan harus jelas dicatat mengenai identitas, alasan pertanggung-jawaban otoritas, bahkan tanggal masuk dan tanggal bebas, serta tak seorangpun boleh diterima dalam Lapas/ Rutan kecuali dengan surat yang syah dan telah dicatat di dalam buku register.
Hal tersebut di atas dipertegas dalam Pasal 555 KUHP, PerMenkeh RI No.M.04-UM.01.06 Tahun 1983 bahwa Surat Perintah Penahanan atau Penetapan Penahanan (SP2) yang paling mendasar sejak di Tingkat Penyidikan oleh Polri harus ada (SP2 Labora Sitorus tidak pernah ada) dikutip dari buku Standar Registrasi dan Klasifikasi Narapidana dan Tahanan, Kemenkumham RI, Nomor: PAS-170.PK.01.01.02 Tahun 2015, halaman 10 - 11 yang harus dipatuhi.
“Terkait dengan semua kejadian yang menimpa suami saya, saya sangat yakin di luar sepengetahuan Bapak Presiden, di mana sedang gencar-gencarnya melakukan Reformasi dan Supremasi Hukum. Oleh karena itu, saya dan suami saya Labora Sitorus selaku Warga Negara sangat menghormati,” jelasnya lagi dalam surat tersebut.

Sandritje Panauhe sebagai istri Labora, dia kembali memempertanyakan, ke mana lagi mereka harus meminta perlindungan Hukum kalau bukan kepada Bapak Presiden sebagai otoritas tertinggi pemengang kekuasaan di negeri ini. “Bapak Presiden, suami saya selaku anggota Polisi Aktif, apabila ada kesalahan atau disiplin suami saya dalam menjalankan tugas maka pihak pihak Propam Polri terlebih dahulu menangani. Namun demikian sampai saat ini suami saya belum pernah menjalani pemeriksaan di institusi suami saya bernaung,” jelasnya lagi.

Lucunya, walau demikian langsung diadili di peradilan, sehingga terkait statusnya suaminya sebagai anggota Polisi sampai saat ini tak ada kejelasan. Karenanya, dari hati yang paling dalam, melihat kondisi suaminya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Kelas I Jakarta, sebagai istri, Sandritje Panauhe memohon keadilan untuk pribadi suaminya, Labora Sitorus.
“Demi masa depan saya selaku istri dan anak-anak kami. Dan sebagai bahan informasi terkait dengan kasus hukum yang suami saya alami ini pada tahun 2015 telah dilakukan telaah berupa Eksaminasi Proses Hukum dan Putusan Hukum Labora Sitorus oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI), di mana hasil Eksaminasi Komnas HAM RI ditemukan banyak sekali kejanggalan dalam proses hukum terhadap suami saya Labora Sitorus, dan disimpulkan beberapa hal diantaranya yaitu:
Pertama, telah terjadi apa yang disebut dalam hukum pidana sebagai kesalahan fatal dan serius dalam menetapkan subyek hukum yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana (Error in Persona). Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan menetapkan Labora Sitorus sebagai terdakwa, dan kemudian memutuskannya sebagai terpidana oleh Hakim Pengadilan Negeri, Hakim Pengadilan Tinggi, sampai terakhir dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1081 K/PID.SUS/2014.

Kedua, kesalahan menetapkan Subyek Hukum (Error in Persona) dimaksud, mengakibatkan tahapan-tahapan selanjutnya sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dakwaan, pemeriksaan di sidang pengadilan, penjatuhan Putusan Pengadilan Negeri, Putusan Pengadilan Tinggi dan Putusan Mahkamah Agung, hingga pelaksanaan putusan (eksekusi) yang direkayasa dan dipaksakan (error in procedure), sehingga menunjukan adanya penyalahgunaan wewenang (a buse of power) dan pengabaian terhadap perlindungan hak asasi manusia.

Ketiga, Tindak Pidana yang didakwakan terhadap Labora Sitorus sebagai terdakwa merupakan tindak pidana khusus, dan berlaku asas Lex Specialist Derogate Legi Generalis, namun walaupun merupakan, tindak pidana khusus, dalam penyelesaiannya tetap harus memberikan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia. Sementara dalam penanganan perkara ini justru banyak dilakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, terutama hak-hak tersangka/ terdakwa/ terpidana dalam hal ini Labora Sitorus dan hak-hak warga masyarakat Sorong.

Keempat, kesalahan penegak hukum mulai dari Polisi sebagai penyidik, Jaksa sebagai penuntut umum, dan kemudian hakim yang memeriksa, mengadili dan membuat Putusan yang mempidana Labora Sitorus, karena “Error in Persona” adalah tindak pidana yang dalam kriminologi disebut sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan oleh Negara (State Crime), yang melanggar Hak Asasi seseorang sebagai warga negara Indonesia.

Kelima, dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan juga pertimbangan hukum sebagai alasan-alasan Hakim menolak permohonan Kasasi II/ Terdakwa dalam putusan MA No. 1081 K/PID.SUS/2014 secara eksplisit menggunakan kias atau perumpamaan dengan menganalogikan Labora Sitorus sebagai pengurus korporasi/ pengurus perusahaan, sebagai subyek hukum yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Dalam Hukum Pidana Nasional tak diperbolehkan atau sangat dilarang menggunakan analogi atau kiasan karena bertentangan asas legalitas, tidak memberikan kepastian hukum, dan melanggar Hak Asasi Labora Sitorus sebagai warga negara, perbuatan ini sebagai bentuk State Crime.
Keenam, konsekwensi hukum (legal consequence) dari Error in Persona dan menggunakan analogi atau kias dalam perkara Labora Sitorus adalah secara tegas telah melanggar asas legalitas dan kepastian hukum.

Ketujuh, di dalam pertimbangan hukum yang termuat dalam amar putusan MA No. 1081 K/PID.SUS/2014 sekedar mencocokkan dengan ketentuan Pasal 197 KUHAP, maka putusan tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.  Oleh karena itu, Sandritje Panauhe selaku istri dari Labora Sitorus, dan sebagai Warga Negara, memohon kiranya ada keadilan dan perlindungan hukum dari Negara.

Sebagai istri, dia sangat berharap, Surat Permohonan kepada Presiden sebagai permohonan perlidungan HAM, perlindungan hukum dan keadilan serta pengaduan adanya dugaan pelanggaran proses penahanan, perampasan kebebasan dengan cara  melawan hukum, berharap mendapat perhatian dari Bapak Presiden untuk terwujudnya Reformasi dan Supremasi hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Surat tersebut ditembuskan 23 lembaga negara diantaranya. Termasuk tembusan disampaikan kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, Drs Jusuf Kalla. Temusan ke Jenderal TNI (Purn.) Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia. Kepada Prof. Dr. M. Hatta Ali., SH., MH sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dan, kepada Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia. Kepada Prasetyo Jaksa Agung Republik Indonesia, dan kepada Jenderal Polisi Tito Karnavian selaku Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan kepada Dr. Yasonna Hamonangan Laoly. S.H., M.Sc. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Related Posts:

Politik Serigala dan Domba Dalam Suasana Natal


KAIROSPOS.COM, Jakarta - Memasuki bulan Desember diseluruh dunia umat Kristiani memasuki masa Adven.  Penantian kedatangan Kristus pada tanggal 25 Desember 2018.  Bulan yang penuh kedamaian ini dihentakkan dengan pembantaian 19 orang pekerja PT. Istaka Karya di tanah Papua. Tanah yang sudah diploklamirkan menjadi tanah perdamaian dan tanah penginjilan ramai dibicarakan masyarakat melalui media elektronik dan cetak menjadi tanah konflik dan pertumpahan darah.  Lantas masyarakat mulai bertanya apakah upaya jerih payah misionaris selama puluhan tahun tahun di tanah papua tidak menghasilkan anak domba. Apakah jejak penginjilan Ottow dan Geissler di tanah Papua sudah dilupakan Masyarakat Papua?. Jawabannya tidak, dari pengakuan sandera Jemmy Aritonang yang sudah di eksekusi melalui tembakan senjata dan berpura pura mati, lalu melarikan diri oleh seorang Ibu Jemmy Aritonang dibawa pada seorang Pendeta, dan Pendeta tersebut membawa mereka ketempat pos pengamanan TNI.

Jemmy Aritonang dalam kesaksiannya selalu memceritakan bahwa tangan Tuhan yang menyelamatkan nyawanya melalui seorang Mama dan Pendeta. Bagi diri Jemmy Aritonang sang Mama dan Pendeta adalah orang Majus pada dirinya karena dia bisa hidup dan mendapatkan sukacita bagi dirinya dan keluarganya di Balige Sumatra Utara. Kisah inilah makna Natal yang terbesar bagi dirinya pada masa Adven menanti hari Natal kelahiran Kristus.


Jika kita kaji lebih dalam dalam ilmu kriminologi Jemmy Aritonang adalah Korban bisa diasumsikan sebagai anak Domba dan Gembalanya adalah Pendeta yang menyelamatkan hidup Jemmy,  Pelakunya adalah KKB(Kelompok Kriminal Bersenjata) kita asumsikan sebagai Serigala. Hewan srigala yang memiliki naluri membunuh secara kejam mencabik mangsanya hingga tidak berdaya dan memamerkannya pada orang banyak bahkan direkam dalam video seperti yang dilakukan ISIS pada sandera yang mereka dapat dan dampaknya adalah ketakutan pada musuhnya.


Politik kekuasaan yang menghalalkan segala cara dan matinya naluri kemanusian. Kembali ke homo homonilupus bahwa manusia adalah srigala bagi sesamanya demi mendapatkan kekuasaan dan Uang. Apakah dengan melakukan pembantaian secara kejam KKB(Kelompok Kriminal Bersenjata) dan OPM(Organisasi Papua Merdeka) makin cepat mendapatkan tujuannya? Menurut pendapat saya tidak karena tujuan memerdekan diri dari Indonesia tentunya harus mendapatkan dukungan dan simpati dari dunia luar. Dunia internasional sudah jauh berbeda pandangan politiknya terutama dalam bidang kemanusian dan keadilan. Dengan perbuatan pembantaian masyarakat sipil tentu akan mendapat kecaman pada dunia Internasional dan jangan lupa dunia Internasional sudah mengakui bahwa tanah papua menjadi tanah penginjilan umat Kristiani dan ini harus dicatat siapapun yang mempunyai kepentingan di tanah Papua. Jika ada maksud lain ingin membelokkan arah politik dan kebijakan di tanah Papua sebaiknya berhentilah. 


Bersambung………………………….

Penulis : Thony Ermando.

Related Posts: