Gereja Menyikapi Darurat Kekerasan Seksual


KAIROSPOS.COM, Jakarta - Seminar "Gereja-gereja Menyikapi Darurat Kekerasan Seksual" Senin, 9 Desember 2019, Di GPIB Jemaat Immanuel Gambir-Jakarta.

Yuniyanti Chuzaifah PhD.Cand., Wakil Ketua Komnas Perempuan,  menjelaskan apa dan mengapa ada Kekerasan Seksual. Yuniyanti menjelaskan salah satu mandat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah meningkatkan kesadaran publik bahwa hak perempuan adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Dalam melaksanakan mandat tersebut, Komnas Perempuan setiap tahun melakukan kegiatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) setiap tanggal 25 November sampai 10 Desember.

Sejarah Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) pada awalnya merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Aktivitas ini sendiri pertamakali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.

Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Hal senada  dijelaskan juga oleh Pdt. Sylvana Apituley, Germasa GPIB/Ketua Peruati Jabotabek (Persatuan Wanita Berpendidikan Teologi di Indonesia).

Pdt Sylvana Apituley mengatakan " Siapa bilang tidak ada Kekerasan Seksual di lingkungan gereja atau keluarga/komunis Kristen? Banyak kasus dilaporkan, diam-diam, maupun terbuka, baik oleh korban atau oleh keluarga dan pendamping korban. Bentuk kekerasan yang pernah dilaporkan antara lain : vikaris atau mahasiswi praktek dilecehkan oleh mentor, mahasiswi teologi dilecehkan dosen, remaja/pemuda gereja ditinggal pacar yang ingkar janji walau sudah intim secara seksual, atau hamil lalu dikawinkan paksa atas nama "tanggungjawab pacar", istri yang tidak mampu/tidak berani menolak ajakan berhubungan seksual oleh suami walaupun enggan karena beragam alasan; anak yang diperkosa oleh ayah/opa/oom/kakak sendiri hingga hamil dan melahirkan berulang kali; ini terjadi beberapa waktu yang lalu sebelum acara seminar ini diadakan, demikian juga kasus perkosaan yang dilakukan seorang ayah terhadap anaknya terjadi di suatu desa terpincil di Papua" ungkapnya.

Sylvana melanjutkan "Ada perempuan warga jemaat yang dijadikan "istri simpanan" oleh pendeta/penginjil. Dan bentuk kekerasan seksual seksual lainnya. Siapapun bisa jadi korban, anak-anak,penyandandang disabilitas hingga lansia. Pelaku juga dari berbagai kalangan. Mengapa Kekerasan Seksual terus saja terjadi, bahkan Indonesia darurat Kekerasan Seksual 5 tahun terakhir ini? Mengapa banyak orang, termasuk bungkam? Kepada siapa korban Kekerasan Seksual melaporkan kasusnya dan mencari pertolongan? Apakah gereja-geraja peduli? Bagaimana gereja-gereja harus menolong korban dan menangani pelaku kekerasan seksual? Mengapa gereja harus bersikap? budaya permisif merupakan salah satu penyebabnya, ada juga faktor  yaitu relasi kuasa gender pada laki laki yang lebih kuat pada perempuan menyebabkan hal ini terjadi" kata Sylvana.

Kondisi saat ini sudah darurat, kata Sylvana kedarutan itu menyangkut angka,  dalam satu  hari ada 3-4 orang, perkosaan, kekerasan, verbal, kawin paksa, darurat, kompleks masalah dari 10 kasus misalnya ada orang tua yg memerkosa anaknya berkali-kali seperti kasus di papua barat, hari gini msh ada kasus seperti itu. Percepatan masalah lebih cepat dibanding penanganannya,  kemampuan kita mencegah lebih lambat dengan terjadinya kasus itu yg begitu sangat cepat, jangan menunggu itu terjadi pada diri kita, orang baru menyadari setelah keluarganya menjadi sensitifitas harus dilakukan terhadap kasus ini, terang Sylvana. "Saat ini beberapa gereja sudah mulai peduli dan bergerak nyata dalam menanggulangi kasus ini, gereja-gereja di Indonesia cukup mampu menolong korban dan menangani pelaku karena memiliki infrastur dan SDM yang cukup" terang Sylvana.

Dalam seminar sehari ini Pdt. Sylvana Apivana Apituley membawakan materi "Kemajuan Dan Tantangan Gereja-Gereja Secara Nasional".  

Sylvana melanjutkan "Acarara rutin tahuhunan dan kampanye rutin diseluruh dunia dan di Indonesia sejak tahun  2000. Lembaga gereja sudah aktif khususnya PGI PERUATI mempunyai  agenda rutin, gerakan berbasis rutin. Tiap tahun membuat seminar, dialog publik, pamplet thema ikut dengan themas nasional sudah 5 tahun pengahapusan kekerasan seksual, darurat kekerasan seksual ada d gereja, kedalaman seksual, gereja belum terbuka. Kekekasan  seksual rentan terjadidi gereja, cukup banyak terjadi di jemaat gereja beberapa hari lalu ada kasus di Sumba .  Kekerasan seksual, merupakan hutang keadaban kita, hutang keberadaban, kemanusian yang setara yang adil, semua orang berhak diperlakukan secara utuh baik pelaku maupun korban, adapun sejumlah pelaku diperbolehkan untuk ditolong, korban harus segera ditolong pelaku merasa lebih berkuasa.

Ada banyak faktor antara lain akar budaya yangg lebih permisif dengan situasi yangg ada kita digempur oleh nilai nilai, oleh mereka yang punya kuasa untuk menentukan misalnya media yang mengiklankan perempuan.  Media membentuk citra misalnya promosi wanita sexy, membentuk citra tertentu dalam pikiran laki-laki,  iklan tertentu pada tubuh perempuan. Tidak sensitif pada aspek-aspek perempuan misalnya perempuan kulit putuh, persepsi terhadap diri sendiri contoh modus, perempuan digebukin pacarnya kenapa demikian, persepsi tubuh cantik oleh pikiran yang tidak adil gw gagah jika melakukan agresi terhadap perempuam. Di sumba ada kawin tangkap, bisa juga istri orang karena lelaki yang bisa membawa istri orang pria gagah. Meghancurkan imaj kita yg diciptakan Tuhan. Kunci penanganannya antara lain RUU Penghapusan kekerasan terhadap perempuan harus segera disahkan" Ungkap Sylvana.

1. Perempuan korban kekerasan seksual, seringkali menjadi korban berkali2  dimulai dari saat dia mau menceritakan tragedi yg menimpanya itu kpd org2 terdekat hingga proses pemeriksaan oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai pengadilan.

2. Tidak mudah bagi korban ataupun  penyintas untuk bersuara. Butuh keberanian berkali2 lipat utk melakukannya. 

3. untuk korban/penyintas, persoalan tidak berarti langsung selesai ketika pelaku tindak kekerasan dihukum. Krn perjuangan terberatnya adalah memulihkan psikis akibat trauma.

Imelda Purba mengungkapkan kesaksiannya secara berani dan gambalang perlakuan sang suami yang melakukan KDRT.

Pdt. Jacky Manuputty, Sekretaris Umum PGI, akan menegaskan mengapa gereja harus bersikap. Jacky Manuputty mengungkap secara gamblang dan mengambil istilah gereja harus membuka mata telanjang banyak kasus-kasus kekerasan seksual di dalam gereja banyak oknum yang terlibat. Banyak mengutip ayat ayat alkitab tentang kesetaraan, perlindungan kaum lemah, dan memperjuangkan keadilan. Jacky yang baru terpilih sebagai Sekretaris Umum PGI mengatakan "Kita harus berselancar bersama sama untuk dapat menyelesaikan kasus kekerasan seksual" tegas Jacky.

Pdt. Dr. Donna Sampaleng, M.Pd., D.Th (Peruati BPD Jabotabek). Yang menjadi moderator seminar ini ketika diminta pendapatnya tentang kasus di Sumba mengatakan "Menanggapi kasus di Sumba saya sangat prihatin. Saya sebagai sesama perempuanprihatin karena itu dilakukan atas nama adat, tradisi yang seharusnya adat sebagai rumah besar, citra diri dari perempuan dan semua masyarakat harus merasa nyaman. Akan tetapi seringkali terjadi menjadi tidak nyaman karena tersandera budaya itu, nah stigma ini harus diperbaiki sehingga gambaran kultur lokal yang baik dan baradab. Saya bersama PERUATI Nasional dan Jabotabek memberokan perhatian khusus terhadap peristiwa ini. Untuk era saat ini seharusnya tidak terjadi dan langkah nyata yang kami lakukan memberikan edukasi, mendukung giat edukasi dan advokasi dan dilakukan juga oleh kawan kawan kami di Sumba melalui PERUATI Sumba dan LSM lain yang sudah melakukannya.Kita perlu bijaksana karena bersentuhan dengan adat istiadat yang sudah hidup secara turun menurun. Jadi mungkin ada langkah solutif terhadap kondisi itu sehingga adat tidak menjadi jurang yang menjebak  kondisi perempuan dan anak sebagai oknum yang tidak berdaya" terang Donna panggilan akrabnya.

Donna melanjutkan "Dari paparan Pak Jacky saya meyakini data yang ditunjukkan cukup valid beliau sebagai mantan aktifis LSM  dan sekarang menjadi pengurus gereja secara nasional. Saya pikir fakta fakta itu harus dibuka harus punya data telanjang terhadap fenomena yang ada. Hal hal yang terjadi diruang yang dianggap holy atau kudus kalau dari sisi data kuantitatif menjadi menurun dan harapannya menjadi tidak ada" terang Donna.

Sebagai seorang akademisi yang kesehariannya mengajar di STT IKAT, Donna berpendapat salah satu solusinya adalah merancang sebuah metode, baik itu metode penelitian maupun pengembangan. Hal itu dapat dimasukkan dalam mata kuliah, memberikan pembekalanbagi mahasiswa/i terhadap kondisi kondisi riel sehingga tidak lagi terfokus terhadap tafsiran tafsiran perspektif lama sehingga mengabaikan realitas yang sekarang, terang Donna (Thony Ermando).



 

Related Posts:

0 Response to "Gereja Menyikapi Darurat Kekerasan Seksual"

Post a Comment